Senin, 14 Februari 2011

Gunung-Gunung Berapi Dingin di Titan

Berkelanalah ke planet Saturnus dan lanjutkan perjalanan menuju satelitnya yang paling populer, Titan. Inilah satelit Saturnus terbesar di antara lebih dari 60 lainnya, namun juga paling misterius. Jika pesawat anda memilih bandara di Titan sebagai tujuan akhir penerbangan, hingga jarak beberapa ribu kilometer dari Titan anda takkan dapat menyaksikan keelokan permukaannya.
Jejak aliran lava dingin yang teramati Cassini dalam kombinasi citra radar dan VIMS. Lava dingin mengalir sejauh 80 km lebih dari kawah gunung berapi dingin yang memuntahkannya (kiri bawah). Kredit : LeCorre dkk

Semua terbungkus selimut karbondioksida tebal yang pekat dengan warna kuning kecoklatan, seakan melindungi permukaannya terhadap segala gangguan visual dari luar, termasuk sorot mata manusia. Maka berterima kasihlah kepada misi antariksa Cassini–Huygens, proyek kolaborasi NASA dengan partnernya di Eropa yakni ESA dan ASI (Italia), yang diluncurkan tahun 1997 dan tiba di Saturnus pada tahun 2004. Sebab lewat misi antariksa tak berawak termahal sepanjang tiga dekade terakhir inilah Saturnus dan juga Titan perlahan–lahan mulai menyibakkan diri.

Sejak kedatangannya, Cassini sudah menjalani lebih dari 60 kali penerbangan lintas (flyby) di Titan dan sukses mendaratkan kapsul Huygens ke permukaan satelit yang dalam perspektif keplanetan ukuannya 1,5 kali lebih besar dari Bulan dan hanya bisa dikalahkan Ganymede di Jupiter. Berbeda dengan tebakan semula, permukaan Titan ternyata padat, penuh batuan berserakan dan perbukitan. Namun berbeda dengan Bumi, batuan Titan adalah bekuan senyawa–senyawa ringan yang didominasi metana dalam lingkungan bersuhu –182° C. Huygens memperlihatkan “kering”nya cuaca Titan sepanjang ratus tahun terakhir dengan udara berasap hidrokarbon pengap mirip udara Jakarta yang polutif. Namun suatu saat di masa silam, dalam rentang waktu sangat singkat, cuaca berubah dramatis dengan turunnya hujan badai metana teramat deras secara global. Hujan metana ini mengukir topografi Titan, sehingga alur–alur lembah, sungai dan danau terisi kembali oleh metana cair.

Apa yang menggerakkan metana sehingga bersirkulasi di Titan sebagai padatan (di batuan), cairan (di sungai/lembah) dan gas (di atmosfer) mengundang pertanyaan para astronom khususnya dalam lima tahun terakhir. Massa metana di Titan diindikasikan 2 x 1017 kg, namun perlu dicatat bahwa metana di atmosfer atas Titan selalu terpecah–belah oleh sinar Matahari, sehingga dibutuhkan pasokan metana kontinu untuk menjaga stabilitas atmosfer sekaligus menggerakkan cuaca. Spekulasi vulkanisme dingin (cryovolcanism) sebagai tenaga penggeraknya pun merebak. Karena dengan jauhnya lingkungan Saturnus terhadap Matahari dan komposisi dominan penyusunnya, hanya vulkanisme jenis ini dengan dengan aliran magma model titik–panas (hotspot) yang mungkin eksis, bukan model lempeng tektonik. Apalagi instrumen radar dan VIMS (Visual Infrared Mapping Spectrometer) Cassini berulang kali menangkap bentuk–bentuk unik mirip kerucut, kawah maupun aliran yang sangat kaya metana di permukaan Titan.
Tortola Facula, salah satu kandidat kerucut produk vulkanisme dingin di Titan. Kredit : LeCorre dkk

 Tortola Facula
 Tortola Facula adalah kerucut yang dilihat Cassini saat flyby pertama pada Oktober 2004. Kerucut tersebut diduga merupakan gunung bergaris tengah 30 km dengan bentuk terelongasi ke barat. LeCorre dkk (2008) memperhitungkan, jika aktif, aktivitas gunung ini mampu memasok 1013 kg metana dengan asumsi dapur magma pemasok metana beku yang menyublim menjadi gas di gunung ini tebalnya 5 km. Jumlah ini terlalu kecil dibandingkan massa metana di atmosfer Titan dan dibutuhkan sedikitnya 20.000 gunung berapi dingin sejenis Tortola Facula agar bisa mempertahankan stabilitas atmosfer Titan. Meski Cassini baru sanggup memetakan sebagian kecil permukaan Titan, namun 20.000 gunung mirip Tortola Facula cukup banyak jumlahnya sehingga seharusnya bentuk kerucut sejenis sering dijumpai Cassini. Sementara realitasnya tidak demikian.
Kawasan thui region, diabadikan dari jarak 75.000 km. Gumpalan putih cerah di bagian bawah adalah jejak vulkanisme dingin kawasan ini, yang kemungkinan berbentuk erupsi retakan. Kredit : LeCorre dkk


 Thui Region dan Hotei Region
Thui region dan Hotei region adalah dua kawasan Titan lainnya yang diindikasikan mengalami aktivitas vulkanisme dingin. Berbeda dengan Tortola Facula, Thui dan Hotei melingkupi area yang cukup luas sehingga vulkanisme di sini mungkin berupa erupsi retakan seperti bisa kita dijumpai di Islandia maupun Hijaz di Bumi. Dengan asumsi dapur magmanya menyerupai Tortola Facula, LeCorre dkk memperhitungkan Thui region mampu memasok 4.1017 kg metana atau setara dengan massa metana di atmosfer Titan. Demikian pula Hotei region.

Sotra Facula adalah kandidat gunung berapi dingin lainnya di Titan, yang diungkap Randolph Kirk dkk dari United States Geological Survey (USGS) Astrogeology Science Center. Mereka mereproduksi citra radar untuk menghasilkan bentuk tiga dimensi Sotra Facula, yang memperlihatkan dua kerucut setinggi lebih dari 1.000 meter dari dasar dengan kawah dalam ditengahnya dan jejak aliran yang memencar menjari mirip kipas aluvial di Bumi. Meski spektakuler, Sotra Facula diduga memasok metana dalam kuantitas yang tak jauh berbeda dengan Tortola Facula.

Sotra Facula
Topografi Sotra Facula sekaligus bisa menjelaskan bagaimana kubah Tortola Facula bisa eksis di Titan. Vulkanisme dingin pada umumnya mengekstrusikan magma dingin berupa uap air dan gas–gas volatil yang sulit untuk mengendap begitu erupsi terjadi, seperti di Enceladus dan Triton. Sehingga vulkanisme dingin tidak diikuti pembentukan kerucut gunung. Namun di Titan situasinya sedikit berbeda. Meski juga ditenagai gas–gas volatil (khususnya metana), vulkanisme dingin Titan mungkin melibatkan material yang lebih padat dan berat. Sehingga ketika erupsi terjadi, material lebih padat ini tak terbawa jauh dan hanya menumpuk di sekitar kawah sehingga tebentuk kubah lava yang lama–kelamaan tumbuh tinggi dan membesar.
Citra tiga dimensi Sotra Facula yang diproduksi USGS Astrogeology Science Center untuk NASA. Nampak cekungan dalam yang merupakan kawah, dengan sisi kanannya adalah dua puncak setinggi lebih dari 1000 m dari kawah ini ke latar depan nampak jejak-jejak aliran lava dingin (metana, gas volatil, dan senyawa-senyawa lain yang lebih padat). Kredit : NASA

Kirk dkk menuturkan, sejauh ini tidak ada tanda–tanda apakah Sotra Facula masih aktif di masa resen, namun mereka akan terus memantaunya guna memastikannya. Eksistensi gunung–gunung berapi dingin di Titan mendatangkan pertanyaan tentang asal–usul sumber panas yang menggerakkan vulkanisme dingin ini. Jika Enceladus dipanasi oleh pemanasan pasang–surut gravitasi akibat resonansi orbitnya dengan Dione dan Triton dihangatkan sinar Matahari khususnya di sekitar titik subsolar, belum jelas darimana Titan mendapatkan panasnya. Dengan dimensinya yang besar, bahkan sedikit lebih besar dari Merkurius, Titan mungkin memiliki sumber panas internal dari peluruhan unsur–unsur radioaktif berat dalam lapisan inti Titan.

Sumber : http://langitselatan.com/2011/02/01/gunung%E2%80%93gunung-berapi-dingin-di-titan/

Sistem Keplanetan Kepler-11 Yang Menakjubkan

Tahun 1995, dunia dikejutkan dengan penemuan planet pertama yang mengorbit bintang lain. Pegasi 51 menjadi titik awal perjalanan penemuan planet-planet yang mengitari bintang lain. Satu per satu planet ditemukan. Satu demi satu kejutan pun tersaji bagi manusia, untuk melihat kalau Tata Surya bukanlah satu-satunya sistem keplanetan dan Tata Surya tidaklah unik.
Pencarian Bumi yang lain juga dimulai. Manusia dikejutkan oleh penemuan Gliese 581c yang menjadi bagian dari planet laik huni atau planet yang diduga memiliki air dalam bentuk cair. Semenjak itu, satu persatu planet seukuran Bumi pun ditemukan walau memang si kembar Bumi belum benar-benar ditemukan.

Tahun 2009, misi Kepler diluncurkan dan sejak saat itu penemuan planet-planet baru semakin banyak.  Tanggal 3 Februari dini hari, NASA memberi kejutan dengan mengumumkan hasil terbaru penelitian Kepler. Ada ribuan kandidat exoplanet. Tapi bukan itu yang utama.
Kepler berhasil menemukan sistem keplanetan dengan 6 planet yang terdiri dari planet gas dan juga batuan mengitari sebuah bintang serupa Matahari dan dikenal sebagai Kepler-11. Sistem ini berlokasi 2000 tahun cahaya dari Bumi. Fiuhh jauh…

Sistem Kepler-11
Apa uniknya sistem ini?

Ilustrasi transit planet-planet dalam sistem Kepler-11. Kredit: NASA/Tim Pyle



                              

Sistem keplanetan Kepler-11 merupakan sistem dengan 6 buah planet pertama yang ditemukan melalui sistem transit.  Keunikan lainnya, sistem ini sangat kompak, seluruh planet mengorbit sang bintang dalam kesejajaran yang sempurna dan dari sudut padang pengamat, planet-planet tersebut secara berkala melintasi piringan bintang atau yang kita kenal dengan nama transit.  Kepler-11 merupakan sistem pertama yang memiliki lebih dari 3 planet transit.
Tidak hanya itu,  sistem ini memiliki 5 planet yang mengorbit sedemikian dekat dengan bintang induknya dan belum ada sistem seperti ini sebelumnya.
Planet terdalam, Kepler-11b, berada 10 kali lebih dekat ke bintang induk jika dibanding dengan jarak Bumi ke Matahari. Bergerak keluar, planet berikutnya, Kepler-11c, Kepler-11d, Kepler-11e, Kepler-11f dan yang terluar Kepler-11g memiliki jarak 2 kali lebih dekat ke bintang induknya dibanding jarak Bumi ke Matahari.


Yang paling menarik,  kelima planet dalam di sistem ini jika ditempatkan di Tata Surya maka mereka akan berada dalam obit antara Merkurius dan Matahari! Dan untuk planet terluar yakni Kepler-11g, ia berada dalam orbit antara Merkurius dan Venus.  Orbit kelima planet dalam di sistem keplanetan Kepler-11 juga sangat berdekatan jika dibanding dengan planet-planet yang ada di Tata Surya.  Kelima planet dalam memiliki periode orbit antara 10 – 46,7 hari untuk mengitari bintang induknya sedangkan planet terluar Kepler-11g membutuhkan waktu 118 hari untuk mengitari sang bintang.
Masih ada lagi loh yang membuat sistem ini jadi sedemikian menarik dan memukau. Planet-planetnya tidak seperti yang kita kenal selama ini di Tata Surya.  Kelima planet dalam di sistem ini memiliki massa yang merentang dari 2,3 – 13,5 massa Bumi dengan ukuran lebih besar dari Bumi. Planet terbesar memiliki ukuran setara Uranus dan Neptunus dengan variasi ukuran 2 – 4,5 kali diameter Bumi.
Perbandingan sistem Kepler-11 dengan sistem Tata Surya. Kredit : NASA/Tim Pyle

Berada sedemikian dekat dengan bintang induknya, jelas mereka akan diterpa panas dan angin bintang diperkirakan kalau planet-planet ini merupakan versi dengan skala lebih kecil dari planet kebumian, seperti halnya planet “cannonball” Kepler-10b. Tapi ternyata, kelima planet ini memberi kejutan lain. Kerapatannya sangat rendah hanya berkisar antara 3,1 gr/cm3 yang paling “rapat” sampai dengan 0,5 g/cm3 (kerapatan lebih rendah dari Saturnus yang hampir seluruhnya merupakan planet gas)
Komposisi dan Pembentukan Planet
 

Dari ukuran dan massa kelima planet dalam, Jack Lissauer dari NASA’s Ames Research Center, Moffett Field, Calif, yang memimpin penelitian ini  berhasil menemukan exoplanet terkecil yang ada di sistem extrasolar planet.  Planet-planet ini terdiri dari campuran batuan dan gas dan kemungkinan juga oleh air.  Materi batuan pada planet inilah yang memberikan massa pada planet-planet sementara gas yang juga menyusun si planet mengambil alih sebagian besar volum si planet.

Meurut Lissaauer, Kepler-11 merupakan sistem keplanetan yang luar biasa karena aristektur dan dinamika sistemnya bisa memberi petunjuk mengenai pembentukan sistem keplanetan tersebut.
Sistem keplanetan lahir saat inti awan molekul runtuh untuk membentuk bintang. Pada saat tersebut, planet terbentuk dalam piringan gas dan debu di sekeliling bintang yang dikenal sebagai piringan protoplanet. Piringan protoplanet dapat dilihat disekeliling sebagian besar bintang yang baru berusia kurang dari satu juta tahun, tapi ada juga beberapa bintang berusia lebih dari 5 juta tahun yang masih memiliki piringan tersebut.  Dari hasil pengamatan Kepler, diyakini untuk sistem Kepler-11, planet yang memiliki gas dengan jumlah tertentu terbentuk relatif lebih cepat untuk bisa memiliki gas tersebut sebelum piringan gas dan debu tersebut habis.

Sebagian besar volum di planet Kepler-11c – f memiliki materi dengan kerapatan rendah yang diperkirakan berasal dari materi keplanetan yang memiliki kerapatan dari yang tinggi ke rendah seperti batuan/logam, es yang didominasi oleh H2O, CH4, dan NH3, dan gas H/He. Kesemua komponen ini bisa diakumulasi secara langsung dari piringan protoplanet saat pembentukan planet. Hidrogen dan selubung uap, bisa merupakan produk reaksi kimia dan gas-yang terbuang keluar dari planet batuan, tapi hanya sekitar 6% dari 20% massa sesuai urutannya.

Dalam sistem ini, planet Kepler-11d, Kepler-11e dan Kepler-11f pasti memiliki jumlah gas hidrogen yang cukup besar yang mengindikasikan kalau ke-3 planet ini terbentuk lebih awal dalam sejarah sistem keplanetan Kepler-11. Diyakini mereka terbentuk hanya dalam beberapa juta tahun di awal pembentukan sistem. Planet Kepler-11b dan c diyakini kaya dengan es (dalam bentuk fluida seperti di Uranus dan Neptunus) dan/atau campuran H/He.
Jika dilihat dari massanya, kelima planet di sistem ini tersusun oleh elemen yang lebih berat dari Helium. Karakterisasi atmosfer di masa depan akan dapat menguraikan apakah atmosfer didominasi hidrogen atau uap air dan memberi informasi lebih banyak mengenai komposisi terbesar di planet-planet tersebut beserta stabilitas atmosfernya.
Hasil awal yang didapat menunjukkan kalau planet Kepler-11b dan c memiliki atmosfer yang didominasi hidrogen di masa lalu dan kemudian mengalami kehilangan atmosfer di era awal ketika planet memiliki radius yang lebih besar, kerapatan lebih rendah, dan bintang induk masih lebih aktif. Pada masa awal itulah terjadi kehilangan massa dengan laju yang cukup tinggi. Studi lanjut dari sistem keplanetan Kepler-11 ini tentunya akan memberi informasi dan pemahaman yang lebih baik lagi mengenai proses kehilangan massa.
Kelima planet di sistem Kepler-11 yang cukup dinamis dan berada di orbit yang sedemikian dekat dengan bintang induk tidak akan stabil selama milyaran tahun ketika bintang induknya sudah berada di Deret Utama.


Pengamatan Lanjutan
Kepler akan melanjutkan pengamatannya dan akan terus memberikan data terbaru dari sistem Kepler-11.  Semakin banyak transit yang bisa dilihat kepler, maka akan semakin baik bagi para peneliti untuk bisa memberi estimasi ukuran dan massa planet-planet tersebut.

Data yang ada akan membantu dalam kalkulasi dan penentuan ukuran dan massa planet serta memberi kesempatan untuk mendeteksi lebih banyak planet yang akan mengorbit bintang Kepler-11.  Bisa jadi akan ditemukan planet ke-7 di sistem tersebut melalui transit atau bahkan dari gangguan gravitasi yang ia timbulkan pada ke-6 planet yang sudah teramati saat ini.
Yang pasti, manusia akan mengetahui dan belajar lebih banyak lagi mengenai perbedaan yang ada pada planet-planet di berbagai bintang dalam galaksi Bima Sakti.

Sumber : http://langitselatan.com/2011/02/03/sistem-keplanetan-kepler-11-yang-menakjubkan/

Sabtu, 05 Februari 2011

Aktivitas Matahari

Matahari Beraktivitas?


Tentu saja, tetapi jelas, aktivitas tersebut berbeda jauh dengan manusia. ^^
Jika aktivitas Anda sehari-hari makan, minum, tidur, belajar, atau pun bekerja, Matahari pun melakukan berbagai aktivitas juga.



Hasil pengamatan Matahari memperlihatkan beragam aktivitas pada bagian-bagian Matahari. Beberapa aktivitas Matahari misalnya "jerawat matahari" (?) (sunspot), telah diketahui orang sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagian lainnya baru diketahui sejak satu abad terakhir seiring kemajuan teknologi pengamatan. Aktivitas matahari teramati dalam panjang gelombang berbeda dengan melepaskan energi yang berbeda-beda. CME dan flare merupakan aktivitas Matahari yang berdampak besar pada kondisi cuaca antariksa karena besarnya energi yang dilepaskan oleh peristiwa tersebut. 


Sunspot
Sunspot
Sunspot tampak sebagai bintik hitam di permukaan Matahari(kalau saya sih, bilangnya jerawat). Daerah dengan sunspot di Matahari memiliki medan magnet yang sangat besar, mencapai 1000-4000 Gauss. Sunspot memiliki suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan daerah lain di permukaan matahari sehingga daerah ini terlihat lebih gelap dibandingkan sekelilingnya. Sunspot diyakini merupakan penampakan garis medan magnet yang terpuntir di permukaan Matahari. 

Nah, di bagian sunspot terdapat dua bagian, yaitu umbra dan penumbra. Umbra merupakan daerah paling gelap yang terdapat pada bagian tengah sunspot. Suhunya dapat mencapai 3000°C. Sementara bagian tepi sunspot disebut penumbra. Suhunya dapat mencapai 2200°C.
Umbra dan Penumbra Sunspot

Siklus sunspot
Uniknya, sunspot ini memiliki siklus. Rasanya aneh, melihat orang yang memiliki jumlah jerawat yang banyak setiap hampir 9-11 tahun sekali dan kemudian hilang, lalu muncul kembali. Tetapi itulah Matahari!
Flare
Flare




Ledakan di Matahari akibat terbukanya salah satu kumparan medan magnet disebut flare. Selain melepaskan partikel berenergi tinggi, flare  juga memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik seperti sinar X dan sinar Y. Radiasi gelombang elektromagnetik ini dapat mencapai Bumi hanya dalam waktu sekitar 8 menit, sedangkan partikel berenergi tinggi membutuhkan waktu sekitar 1-2 hari. Adanya flare yang besar dapat berdampak serius pada cuaca antariksa

Prominensa
Prominensa merupakan ledakan di bagian tepi Matahari yang tampak seperti lidah menjulur. Prominensa tampak terang dan panas meskipun sebenarnya "lebih dingin" dibandingkan kromosfer dan korona. Jika terlihat dari depan, prominensa akan tampak seperti garis yang melintang di Matahari (disebut filamen). Prominensa dan filamen dapat bertahan selama beberapa hari dan menyemburkan energi yang besar ke seluruh tata surya. 

Ukuran Prominensa dibandingkan dengan Bumi
Prominensa
CME
CME tipe "Halo"
CME merupakan singkatan dari Coronal Mass Ejection (Lontaran Massa Korona). Saat terjadi CME, sebagian massa dari daerah korona Matahari terlontar ke arah Bumi. Jika menggunakan kamera satelit, CME teramati seperti letupan yang menyembur dari Matahari. Energi yang dilepaskan dari peristiwa ini sangat besar karena mengandung massa yang besar dengan kecepatan tinggi. Pada saat terjadi CME, sekitar 2x1011 kg hingga 4x1013 kg materi dari korona terlontar hingga energi sebesar 1022 joule hingga 6x1024 joule. Kecepatan materi CME bervariasi dari 20 km/s hingga mencapai 2000 km/s, rata-rata kecepatannya mencapai 350 km/s. Lontaran materi CME ini dapat mencapai Bumi dalam waktu 1-3 hari.


Tetaplah beraktivitas, Matahari...
Sumber : 
Lapan, 2009. Fenomena Cuaca Antariksa. Bandung